Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : GPU
Cetakan : Pertama, Agustus 2015
Tebal : 244 halaman
Ini buku ketiga, eh, buku keempat Ziggy yang saya baca. Kesimpulannya—yha biar, belum apa-apa sudah kesimpulannya—sangat khas Ziggy. Apakah itu? Ya, betul, selalu bikin mikir alias menimbulkan amat sangat banyak tanda tanya di kepala. Tapi, saya suka. Entah itu bikin bertanya-tanya karena nyastra banget atau jalan ceritanya yang terlalu rumit atau memang Ziggy beneran ngajak pembacanya mikir.
Di Tanah Lada
merupakan novel pemenang II sayembara DKJ 2014. Kisahnya berada di seputaran Salva
yang dipanggil Ava, gadis kecil enam tahun yang suka baca kamus. Nah, ini salah
satunya yang bikin menarik, beberapa kali Ziggy menggunakan gaya tulisan yang
serupa kamus. Beneran mirip kamus, bahkan memang dikutip dari kamus, dengan
memakai penjelasan kata per kata dan titik dua. Ia pun sempat mengabsen ke-26
alfabet latin.
Sejak awal
cerita, saya seperti dibawa masuk ke Jakarta era 80-an. Ada setting pulau Sumatera juga, dan justru pulau ini yang cukup identik dengan Tanah Lada, kan? Tapi yang
jelas buku ini kesannya sangat jadul,
soalnya Ava dan Mama-Papanya diceritakan boyongan ke rusun. Memangnya sekarang
masih ada rusun? Atau kalau enggak, di benak saya, rusun yang sekarang
kondisinya jauh lebih manusiawi dari yang diceritakan di buku ini; kumuh,
gelap, bau, dan penuh kriminalitas.
Tapi kemudian gambar
hitam putih yang muncul di benak saya ketika membaca buku ini sedikit dipatahkan
oleh cerita tentang Mama yang memberikan ponsel untuk Ava, ponsel yang terlihat
mahal pula. Bukankah ponsel baru ngetren di Indonesia pada era 2000-an? 2010-an?
Atau saya saja yang terlalu ndeso tinggalnya
di pedalaman sehingga baru mengenal yang namanya ponsel di tahun 2010-an? Lalu,
nama rusunnya, Rusun Nero, terlalu, apa ya, tidak cocok untuk nama
rusun. Terlalu modern? Terlalu kekinian? Terlalu berkelas? Maaf, jadi rusun shaming. Bagaimanapun, tetap saja saya tidak bisa menghilangkan gambaran
ibukota di tahun 80-an selama membaca buku ini.
Oh iya! Dan di
sini diceritakan harga satu porsi nasi ayam Rp11 ribu. Sulit membayangkan Jakarta
dengan nasi ayam seharga itu. Zaman sekarang sepertinya enggak dapet nasi ayam dengan harga segitu?
Dapet gak, sih? Gak tahu saya. Tapi, buat saya buku ini nuansanya sangat hitam putih
kalau diimajinasikan, seperti tv-tv zaman dulu.
Jujur,
sebenarnya saya bingung mau mulai dari mana membahas isi buku ini. Isinya
padat. Sangat padat. Setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf, semuanya menyimpan
banyak tafsir. Tidak ada omong kosong, tidak ada cerita filler yang sekadar jadi pelengkap, semuanya punya arti dan bisa
dimaknai.
Aduh, gimana,
ya. Bingung.
Begini, deh. Pertama-tama, saya suka cerita yang
memakai sudut pandang anak-anak, tetapi bukan berarti melulu buku anak. Sudut pandang
ini memberikan kebebasan bagi penulis untuk membuat semua hal jadi baru dan
seru. Ambil contoh seperti Yotsuba-nya Kiyohiko Azuma, atau Little Prince-nya Antoine
de Saint-Exupéry, atau Alice in Wonderland-nya Lewiss Carroll. Eh, ini yang saya sebut termasuk buku
anak semua, yha. Intinya, sih, saya suka cerita anak yang enggak
kelihatan menggurui, saya suka cerita anak yang suka berkontemplasi, yang bebas
berpikir dan berpendapat, pada hal-hal kecil sekalipun.
Seperti itulah
karakter Ava. Dia menjelaskan bahwa Papa mirip hantu. Itu karena Mama takut
hantu dan Mama takut pada Papa. Jadi, Papa dan hantu adalah satu kesatuan. Ava
juga menjelaskan bahwa Papa seperti monster, yang kuat, suka menggeram,
berteriak, menggebrak, hingga membanting piring.
Di awal saya
pikir buku ini akan bercerita banyak tentang lada atau rempah-rempah. Saya sama sekali tidak
membaca sinopsis, yang kalau di buku digital letaknya terasa sangat jauh dari halaman pertama. Saya juga tidak membaca ulasan bukunya. Otak benar-benar kosongan dan saya membebaskan
diri terjun ke cerita antah-berantah. Kalau menurut judul, saya pikir
ceritanya akan jadi semacam warga yang berupaya menyelamatkan tanah ladanya
dari sosok-sosok kapitalis yang haus uang. Tapi, ternyata saya salah besar. Kalau dirangkum singkat, buku ini
adalah buku tentang KDRT, yang dilihat dari sudut pandang anak-anak.
Saya semacam
frustasi sebenarnya mau mengulas buku ini. Otak saya tidak bisa berpikir runtut.
Rasanya seperti benang kusut.
Oke, mari balik
ke isi buku.
Kedua, saya menemukan
banyak hal yang tidak sinkron. Selain soal setting waktu yang membingungkan,
keluarga Ava juga sangat membingungkan. Misalnya, Papa adalah penjudi. Tetapi Papa
sepertinya berasal dari keluarga yang cukup berada dan berpendidikan. Orang
kaya dan berpendidikan juga bisa berjudi memang, tetapi Papa itu benar-benar penjudi kelas teri, bukan penjudi kelas kakap yang ada di
kasino-kasino mewah dan megah.
Mengapa saya
sebut berasal dari keluarga berada dan berpendidikan? Karena Kakek Kia, papanya
Papa yang telah meninggal, mewariskan rumah yang nyaman pada keluarga Ava.
Rumah yang pada akhirnya dijual Papa untuk modal judi dan membawa mereka
bertiga ke Rusun Nero. Kakek Kia juga mengajari banyak hal baik nan mendidik ke
Ava. Kakek Kia pula yang memberi Ava kamus. Kakek Kia mungkin bukan orang kaya
raya, tetapi menurut ke-sok-tahu-an saya, setidaknya ia adalah tipe-tipe orang
desa yang punya tanah berhektar-hektar luasnya. Maka dari itu saya terus-terusan
bertanya, mengapa Papa pada akhirnya memilih jalur judi? Apakah ia terlalu
malas untuk bekerja? Apakah ia terlalu kesulitan mendapatkan pekerjaan? Lingkungan seperti apa yang membuatnya berkubang dalam dunia perjudian?
Ketiga, di Rusun
Nero, Ava bertemu dengan P alias inilah inti cerita bukunya. P berusia empat
tahun lebih tua dari Ava, dan kedua anak ini sama-sama broken home alias Papa P sama jahatnya seperti Papa Ava. P banyak
membantu Ava saat kesulitan, mulai dari pertama kali bertemu di warung makan,
mengantar ke Mama-Papa di tempat judi, meminta kunci serep kamar ke pemilik
rusun, hingga menemani Ava yang sendirian. Singkatnya, Ava langsung klop dengan
P hingga merasa bertanggungjawab pada kebahagiaannya.
P juga lah yang
kemungkinan menyumbang judul pada buku ini. Karakter P membawa isu tentang nama,
bahwa nama adalah doa. Saya jadi teringat cerpen yang tokohnya bernama T, kalau
enggak salah karyanya mbak Dian Yasmina Fajri. P dan T sama-sama kurang nyaman
dengan nama mereka.
Pada akhirnya,
Ava berjanji untuk memberikan nama baru untuk P dan Pepper adalah pilihan
pertamanya. Ide nama itu muncul ketika mereka berdua berada di sambungan telepon
dan Ava sedang bermain-main dengan botol lada yang bertuliskan pepper. Menurut Ava, nama Pepper cocok untuk
P karena keduanya memiliki ciri-ciri yang sama.
Omong-omong lada
dan pepper, di sini Ziggy juga mengangkat
tema superioritas bahasa. Betapa mereka yang bisa berbahasa Inggris dianggap
keren, sementara yang hanya bisa berbahasa Indonesia dianggap biasa saja atau akan
merasa minder dan tidak percaya diri. Saya jadi sedikit-sedikit paham mengapa
juri DKJ memilihnya jadi juara. Selain ada isi yang berbobot, di sini ada kamus,
ada Bahasa Indonesia, nah nyambung, kan? Iya, kan?
Keempat, di sini
Ziggy banyak sekali memasukkan semacam pesan-pesan tersembunyi di dialog para
tokohnya maupun lewat pemikiran Ava. Dan inilah yang dari tadi saya bilang
bikin ruwet dan frustasi. Banyak sekali, sampai tak terhitung lagi. Setelah
mengendap selama tiga bulan—saya pertama baca buku ini di Januari 2021—saya
baru menyadari bahwa Di Tanah Lada jauh lebih acak-acakan dari Semua Ikan di Langit
(2017), padahal ceritanya lebih logis dan realistis.
Pesan-pesan
sekilas—tapi berat—yang saya tangkap di antaranya adalah isu feminisme, LGBT, human rights, seks bebas, krisis
kepercayaan (terutama pada lembaga pemerintah), hingga krisis identitas.
Saya bilang isu feminisme karena ada bagian ketika Ava memanggil suami Bu Ratna dengan nama Pak Ratna. Menurut pantauannya, orang-orang biasanya memanggil istri seseorang dengan nama suaminya, jadi hal yang sama seharusnya juga berlaku sebaliknya. Di bagian lain, Ava juga terkejut mendapati Kak Suri membentak balik Mas Alri. Hal ini sangat baru bagi Ava yang sehari-hari melihat Mama-nya tak bisa banyak berkutik ketika Papa marah dan membentak-bentak.
Saya bilang isu LGBT
karena ada bagian Om Ari dan Tante Lina. Ava—yang kasihan melihat Pepper tak
punya mama—sempat meminta Om Ari untuk jadi mama Pepper. Ngomong-ngomong,
karakter Om Ari dan Tante Lina ini juga sama mencurigakannya seperti Mama dan
Papa. Banyak hal misterius memang Di Tanah Lada.
Saya bilang isu human rights atau HAM karena ada bagian,
aduh apa ya, lupa. Ada bahasan hukum, seingat saya. Lalu, segala bentuk KDRT
juga termasuk melanggar HAM, bukan? Iya? Bukan? Sepertinya, sih, iya. Tapi mohon dikoreksi kalau saya salah. Nah, ada
banyak sekali bentuk kekerasan di buku ini.
Saya bilang isu
seks bebas karena ada bagian Kak Suri dan Mas Alri. Tidak, tidak. Tidak ada
adegan 18 coret di buku ini. Hanya saja mereka berdua bertanggungjawab atas isu
tersebut di buku ini. Biar lebih jelas, silakan baca bukunya.
Saya bilang isu
krisis kepercayaan karena ada tersurat di dialog Ava dengan Mas Alri dan
tersirat di sepanjang cerita. Ava dan Pepper menganggap semua Papa jahat, atau
bahkan semua orang jahat. Mereka pun terheran-heran ketika mendapati ada orang baik
seperti Pak Tukang Sate dan Bu Tukang Sate. Dan lagi, Ava dan Pepper takut
polisi. Sepertinya, hampir dari kita semua cenderung takut polisi. Tapi,
bukankah polisi sebenarnya identik dengan jargon mengayomi masyarakat? Mengapa
kita takut? Karena kita berbuat salah?
Saya bilang
krisis identitas karena ada Pepper. Dia bahkan bilang sendiri di sebuah dialog dengan
Ava di akhir-akhir cerita, bahwa dirinya tak punya identitas. Dia merasa mirip dengan
Aku di puisi Chairil Anwar, terbuang dari kumpulannya.
Selanjutnya, saya suka gaya tulisan Ziggy yang membuat tiruan bunyi benda. Selalu
unik dan original. Saya tak habis pikir bagaimana bisa dia mencetuskan ide menirukan
bunyi seperti itu. Misalnya suara Papa Pepper yang bercampur jadi satu dengan gedoran
kardus. Gaya yang sama juga bisa ditemukan pada Semua Ikan di Langit (2017), ada
tokoh yang selalu bicara dengan menambahkan banyak hm. Iya, hm.
Lalu, saya suka
ketika Ziggy menggambarkan anggukan kepala seperti boneka mobil yang
bergoyang-goyang. Juga ketika membangun mood
di kapal yang menayangkan film Titanic atau mengaduk-aduk perasaan di bab Ayam
di Sungai Hujan. Juga ketika bermain-main dengan kata benar dan kebenaran di
dalam kamus.
Oh iya, ada juga
dialog yang mengarah ke tema percintaan dan ini adalah dialog Ava dan Pepper.
Meski begitu, dialog mereka jauh dari kata cringe.
Terakhir, saya
semacam shock tak berkesudahan dengan ending
ceritanya. Seberapa berat penderitaan anak-anak ini sampai memutuskan untuk pergi? Padahal ada opsi menetap yang benar-benar ada di depan
mata. Seberapa besar penderitaan mereka?
Sebagai penutup, seru, kok, kalau kalian mau baca juga. Buat yang belum tahu, Di Tanah Lada akan cetak ulang dengan sampul baru dan bisa mulai dipesan pada 31 Maret 2021 di official shop Gramedia yang meliputi Shopee, Tokopedia, maupun website resmi. Semoga semakin excited buat baca dan, selamat membaca!
hn.
WOW ... Pertama baca penulisnya. Namanya unik :D
ReplyDelete