Siang ditingkahi terik sang mentari. Seorang bapak yang sudah memasuki “usia
senja” sedang serius mengerjakan pesanan seorang pelanggan. Tampak tumpukan sepatu
butut juga sol sepatu yang siap dipasang. Disebelahnya sebuah kotak yang tak
kalah “butut”nya. Sesekali sang Bapak tersenyum dan menjawab pertanyaan lelaki disebelahnya. Dengan sabar dan cekatan tangannya menjahit
sepatu lelaki tersebut.
Sambil
menunggu “giliran” untuk menjahit sandal, Aku ikuti percakapan Bapak tukang sol
sepatu dengan lelaki di sebelahnya. Obrolan khas “orang kecil”. Ya … orang
kecil. Karena dalam anggapanku, tidak akan ada “orang besar” yang mau
menjahitkan sepatu ataupun sandalnya. Mereka dengan mudah berganti sepatu D&G, PRADA, LV, RIZZO, atau design
terbaru dari VERSACE. tapi
untuk “orang kecil” yang mungkin untuk makan saja mikir 2 kali, Menjahit sol
sepatu adalah pilihan yang “smart”.
Tukang
sol sepatu. Bagi sebagian orang pasti memandang “sinis” pekerjaan itu. Tapi bagi
sebagian lain, keberadaannya sangatlah dibutuhkan. Bahkan mungkin kedatangannya
malah sangat dinanti-nanti.
Ada cerita menarik. Dulu aku sempat penasaran
dengan suara teriakan seorang pedagang yang menurutku agak “aneh”, karena aku
baru beberapa hari tinggal di tempat yang orang menyebutnya Ibu Kota. Sampai beberapa
kali aku tidak paham juga apa yang di teriakkannya, yang aku dengar “soll pathuk”
dengan aksen yang agak “aneh” itu. sampai teman satu kontrakan memberi tahuku,
itu adalah tukan sol sepatu. Sampai sekarang aku masih saja heran, mengapa
semua tukang sol sepatu sepertinya sepakat menggunakan “aksen” itu untuk memberi
tahu calon pelanggannya dan siapa yang pertama kali mencetuskan cara teriakan
itu.
Kembali
ke bapak tadi. Akhirnya giliran sandalku untuk dijahit. Kesempatan ini aku
gunakan untuk mengobrol dengan bapak tersebut. Bapak ini bercerita bahwa
pekerjaan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 60-an. Tapi sekitar tahun
70-an bapak ini dapat pekerjaan di kantor pos di Bandung. Beliau menceritakan bahwa dulu
belajar menjahit sepatu di beberapa “Industri Rumah Tangga” atau Home Industry
istilah kerennya. Beliau bekerja atau magang berpindah-pindah di sekitar LIK (Lingkungan
Industri Kulit) Magetan. Magetan memang terkenal dengan industri kulitnya.
Setelah
beberapa tahun beliau mencoba mengubah nasib pergi ke kota. Pekerjaan pertamanya
adalah “Tukang Sol Sepatu” keliling. Ya ... , hanya tukang sol sepatu keliling. Karena itu adalah keahlian beliau
satu-satunya. Sampai beliau akhirnya menikah pekerjaan ini tetap dilakoninya. Suatu
saat ada tawaran dari seorang teman untuk bekerja di kantor pos. Beliaupun
menyanggupinya. Pekerjaan kantoran beliau lakukan, sebagai tukang sortir di
kantor pos. Setelah beberapa lama beliau minta di mutasi dan memilih untuk
kembali ke Magetan. Tapi berganti bagian dan menjadi orang lapangan. Tugasnya mengantar
surat dengan mengendarai sepeda onthel.
Setelah
pensiun beliau tidak duduk diam saja dirumah. Beliau kembali menekuni
pekerjaannya dulu sewaktu muda. Tukang sol sepatu. Ya … , tukang sol sepatu. Di
usia senjanya, belau tetap bekerja keras pantang menyerah pada sang waktu yang
semakin menggerogoti jasadnya. Tetapi sang waktu tampaknya tidak berhasil
menggerogoti semangatnya. Inilah mungkin yang harus diteladani para pemuda hari
ini. Yang lebih senang meminta-minta dari pada bekerja.
Comments
Post a Comment